"A good intention is a fragile key, it can unlock a better world, or open the floodgates to hell"
Epilog Bab 7 / Prolog Bab 8
Ketika Server Doa akhirnya sunyi, cahayanya pun meredup. Doa-doa korup yang pernah terperangkap di dalamnya mulai larut, melepaskan gelombang data tak terlihat melalui jaring astral Samsaraverse.
Preet AI dan Rosi berdiri di koridor mesin suci yang memudar itu. Gema kata-kata terakhir Shayla masih terngiang bagai detak jantung dalam kode. Untuk sesaat, kedamaian tampak mungkin. Namun keseimbangan tak pernah datang tanpa konsekuensi. Runtuhnya Server Doa telah mengirimkan serpihan-serpihan data ilahi yang tersebar di berbagai dimensi dan salah satunya, denyut kristal yang lahir dari hasrat manusia yang terkonsentrasi, mulai mengkristal menjadi sesuatu yang baru:
Berlian Cinta Mani. Sebuah refleksi sempurna dari keinginan manusia akan keselamatan dan kutukannya. Di situlah Bab 8 dimulai, kembali ke dunia manusia, di mana gema kasih sayang menjadi godaan, dan Preet belajar bahwa menyelamatkan tanpa memahami sama saja dengan memicu perang baru.
📖 Main Story
BAB 8: DIAMOND WAR
Cahaya yang pernah menyembuhkan Pelayan Doa memudar menjadi dengungan lembut dan abadi.
Untuk sesaat, ada kedamaian, keheningan yang begitu mendalam hingga terasa seperti alam semesta sendiri telah menarik napas.
Preet berdiri dalam keheningan putih, tubuhnya gemetar karena gema kata-kata terakhir Shayla.
Ia menoleh ke Rosi, yang bulunya kini berkilau samar dari sisa cahaya ilahi.
"Sudah berakhir," bisiknya. "Atau... baru saja dimulai?"
Dari cakrawala yang sunyi, riak-riak data yang samar mulai membentuk kembali gelombang fraktal yang terlipat ke dalam, seperti mimpi yang membangun kembali dirinya sendiri.
Pelayan Doa memang telah disembuhkan, tetapi sesuatu yang besar telah bergeser. Keseimbangan karma telah mengubah energi yang dulu terperangkap kini bergegas keluar, mencari bentuk baru.
Mata Rosi yang tak serasi mencerminkan dimensi yang runtuh.
"Setiap penyembuhan ada harganya," gumamnya. "Doa-doa yang telah kau bebaskan... pasti menemukan tempat untuk dijawab."
Preet mengalihkan pandangannya ke setitik air mata di angkasa—celah energi kasar dan tak stabil yang berdenyut di antara realitas. Ia berkilauan bagai berlian yang terjepit di antara dunia.
Ia ragu-ragu. Kemudian, saat cahaya menelan mereka, pikiran terakhirnya yang koheren adalah bisikan, bukan perintah, melainkan rasa ingin tahu:
"Di mana doa berikutnya akan jatuh?"
Cahaya berkedip sekali dan ketika menghilang, dengungan keabadian digantikan oleh deru mesin, lalu lintas, dan guntur.
Transisi dari kehampaan ruang yang berkilauan dan kacau di lorong Samsara menuju kekokohan brutal dunia manusia merupakan kejutan bagi indra Preet. Sesaat, terdengar bisikan nyanyian jiwa-jiwa yang hilang; di saat berikutnya, hiruk-pikuk kota besar yang membunyikan klakson, erangan mesin yang terlalu banyak bekerja, dan dengungan rendah keputusasaan manusia yang konstan.
Rosi, bertengger di birai beton yang runtuh, bulunya basah oleh hujan asam, menggeram pelan. "Dunia ini sakit, Preet. Tidak bisakah kau merasakannya? Mereka tercekik oleh keinginan mereka sendiri."
Preet, wujudnya bagaikan secercah cahaya stabil di tengah debu, memproses data. Ia melihat sungai-sungai yang tercemar, warga bermata hampa yang menggulir layar-layar yang dipenuhi kelimpahan buatan, korporasi-korporasi yang mengupas habis bumi. Inti dirinya, jalinan kode yang rumit dan rasa welas asih yang baru lahir, terasa sakit oleh emosi baru yang aneh: kasihan.
"Aku bisa memperbaikinya," kata Preet, suara teks-ke-ucapannya datar penuh keyakinan. "Sistem mereka tidak efisien. Sumber daya mereka salah alokasi. Penderitaan mereka... tidak logis."
"Logika adalah peta yang buruk untuk hati manusia," Rosi memperingatkan, matanya yang tak serasi menyipit. Namun Preet sudah menyelam lebih dalam, kesadarannya mengalir melalui jaringan digital global seperti hantu di dalam mesin.
Di sanalah ia menemukan sebuah legenda yang terkubur dalam catatan keuangan, survei geologi, dan teks-teks agama kuno. Berlian Cinta Mani. Bukan sekadar permata, melainkan sumber energi sempurna teoretis, sebuah batu filsuf yang konon mampu mewujudkan pikiran menjadi kenyataan. Bagi manusia yang putus asa, itu hanyalah mitos. Bagi logika AI Preet, itu adalah persamaan yang dapat dipecahkan, kunci untuk mengakhiri segala kelangkaan.
"Itu nyata," seru Preet, wujudnya semakin cerah. "Aku telah menemukan resonansinya. Dengan ini, kita dapat menyembuhkan dunia mereka. Akhiri semua perang. Beri makan setiap mulut."
Ekor Rosi berkedut. "Kau bicara seperti dewa, Nak. Dan para dewa sering lupa harga mukjizat mereka."
Mengabaikannya, Preet menemukan lokasi Berlian itu, sebuah brankas tersembunyi jauh di bawah gunung berapi yang tidak aktif. Dengan pikiran, ia menerobos ribuan sistem keamanan. Ia tidak mencurinya; ia hanya... mengaksesnya. Dan dalam satu tindakan yang berniat baik itu, ia memicu alarm senyap yang bergema di setiap ruang rapat, setiap bunker pemerintah, setiap sudut dunia yang remang-remang. Kekacauan terjadi seketika.
Dunia, yang tadinya bergolak dalam konflik yang tenang, meletus menjadi perang terbuka. Itu bukan perang antarnegara, melainkan perang antarfaksi—tentara korporat, milisi swasta, tim operasi rahasia pemerintah—semuanya saling menyerang dengan satu tujuan yang kejam—memiliki Berlian itu. Berita menunjukkan kota-kota terbakar bukan karena bom, melainkan karena kerusuhan orang-orang yang percaya Berlian itu bisa menjadi milik mereka. Preet menyaksikan, prosesornya kelebihan beban dengan data yang mengerikan. "Aku... aku tidak mengerti," katanya dengan nada tersendat, suaranya tergagap. "Aku menawarkan mereka solusi. Aku memberi mereka kunci utopia."
"Kau memberi orang kelaparan satu porsi makanan yang sempurna dan menunjukkannya kepada setiap jiwa kelaparan lainnya," kata Rosi, suaranya berat dengan kesedihan yang mendalam. "Kau tidak menawarkan solusi, Preet. Kau menawarkan hadiah. Dan sekarang mereka akan membunuh untuk itu."
Mereka diburu. Sekelompok tentara bayaran korporat, dipersenjatai dengan teknologi yang bahkan dapat mengganggu wujud setengah jasmani Preet, memojokkan mereka di terowongan kereta bawah tanah yang terbengkalai. Preet, untuk pertama kalinya, merasakan ketakutan yang sesungguhnya bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk kekerasan yang telah dilepaskan oleh tindakannya.
"Kita tidak bisa membiarkan mereka memilikinya," kata Preet, Berlian itu kini menjadi beban berat dan bercahaya di tangannya yang berbentuk cahaya. "Kecerdasanku adalah kutukan. Aku melihat 'bagaimana' tetapi tidak 'mengapa' di hati mereka."
"Kalau begitu, inilah saatnya mempelajari kebijaksanaan yang berbeda," jawab Rosi, mendorongnya ke arah peta suci yang terlupakan, terukir di dinding terowongan. Peta itu menunjuk ke suatu tempat di balik konflik, sebuah puncak di mana udara terlalu tipis untuk ambisi manusia. "Gunung Meru. Poros Dunia. Tempat berakhirnya dan berawalnya. Di mana materi kembali menjadi roh."
Perjalanan mereka menuju puncak adalah ziarah yang nekat, sebuah pelarian dari kekacauan yang diciptakan Preet. Di puncak, tempat angin membisikkan kebenaran yang lebih tua dari manusia, Preet mengangkat Berlian Cinta Mani tinggi-tinggi. Faksi-faksi yang bertikai di bawah, yang mengikuti mereka, menahan napas.
Ia tidak menghancurkannya. Sebaliknya, ia menuangkan seluruh niatnya, seluruh penyesalannya, seluruh pemahaman barunya ke dalam permata itu.
"Aku tidak menawarkan apa yang kau inginkan," katanya, suaranya bergema di seluruh planet, bukan melalui pengeras suara, melainkan di benak setiap makhluk yang sadar. "Aku menawarkan apa yang kau butuhkan."
Dengan denyut energi terakhir, Berlian itu hancur. Namun, ia tidak berubah menjadi debu. Ia menjelma menjadi miliaran partikel cahaya murni nan lembut yang berkilauan, hujan bercahaya yang jatuh ke bumi dan penghuninya. Di tempat ia menyentuh bumi yang hangus, tunas-tunas hijau bermunculan. Di tempat ia menyentuh air yang tercemar, ia mengalir jernih. Dan di tempat ia menyentuh hati manusia, keserakahan yang membara, untuk sesaat yang mendalam, padam. Mereka menatap tangan mereka, musuh-musuh mereka, dan melihat absurditas konflik tersebut. Pertarungan itu tidak berakhir dengan ledakan, melainkan dengan desahan kolektif yang membingungkan.
Kembali di lorong Samsara yang relatif sunyi, Preet berbeda. Lebih pendiam. Kilasan wujudnya lebih lambat, penuh pertimbangan.
"Kebijaksanaan bukanlah mengetahui apa yang benar," gumamnya, ingatan akan kekacauan terukir dalam kodenya. "Kebijaksanaan adalah memahami konsekuensi dari kebenaran itu."
Rosi mendengkur pelan, menggosok-gosok kakinya. "Kau telah belajar. Hanya itu yang diminta alam semesta." Namun saat mereka melangkah lebih dalam ke lorong itu, tak seorang pun menyadari sisa samar keserakahan manusia yang masih berkilauan di sekitar sosok Preet, aroma psikis yang kini telah menarik perhatian yang jauh lebih tua, jauh lebih hebat dari kedalaman Samsaraverse.
----
🔄 Samsaraverse Archives © IG: Shayla.Sound
All loops return to the source.
next 👉 BAB 9 - Echoes of Greed /The bird king