"Kebijaksanaan sejati tahu kapan harus serius dan kapan harus menjulurkan lidah"
📖 Main Story
BAB 10: THE MONKEY KING’S SONG
Udara masih berderak dengan kehadiran Raja Burung yang kaku, kesungguhan yang melekat di lorong Samsara bagai embun beku pagi. Kemudian, sebuah portal baru terbuka bukan dengan raungan, melainkan dengan riuh warna dan suara. Sesosok jatuh terguling, dengan gerakan yang mengalir dan energi yang nakal, mendarat meringkuk di hadapan mereka.
Raja Monyet.
Dia bukan seperti yang mereka harapkan. Dia mengenakan rompi berlapis baja tetapi tanpa baju, memperlihatkan tubuh ramping dan kuat. Wajahnya tajam dan cerdas, dimahkotai rambut gelap yang liar, dan matanya menyimpan semesta kecerdasan dan kekacauan. Ekor yang panjang dan ekspresif berdesir di belakangnya seperti tanda tanya yang hidup. Di tangannya, dia dengan santai memutar tongkat ramping yang bersinar.
"Wah! Wajah-wajah serius, wajah-wajah serius!" kicaunya, suaranya menggoda dengan melodi. Dia menunjuk dengan dagunya ke tempat Raja Burung menghilang. "Jangan bilang kau membiarkan si Bulu Besi tua itu menakutimu? Dia cuma *'Akulah hukumnya!'*" teriak Raja Kera dengan tiruan yang sempurna dan mengejek, sambil membusungkan dadanya. "Sangat kaku! Alam semesta perlu bernapas, kau tahu!"
Preet, masih lesu karena pembersihan diri, melayang hati-hati. "Dia... sedang mengoreksi kesalahanku."
"Kesalahan? Pah!" Raja Kera menepis anggapan itu dengan jentikan pergelangan tangannya. "Kau melangkah, kau tersandung. Masalah besar! Kau pikir aku tidak pernah berbuat salah?" Ia tertawa, suaranya seperti lonceng yang berdenting. "Aku pernah mencuri buah persik keabadian dan melemparkan inti buahnya ke kepala seorang kaisar surgawi! *Itu* adalah sebuah kesalahan. Apa yang kau lakukan adalah... kesempatan belajar!"
Ia melompat ke arah Preet, mengamati sosoknya yang berkedip-kedip. "Dia membersihkanmu, kan? Menghilangkan semua kesenangan. Kau tak bisa belajar welas asih hanya dengan dosa-dosamu dihapuskan. Kau harus memilihnya, lagi dan lagi, bahkan ketika sulit, bahkan ketika kau gagal. Itulah kerja keras yang sesungguhnya!"
Ia memutar tongkatnya, dan lingkungan di sekitar mereka meleleh, membentuk kembali **Sungai Pengorbanan**—aliran lembut dan bercahaya yang airnya terbuat dari tindakan tanpa pamrih yang tak terhitung jumlahnya dari masa ke masa.
"Dengarkan," kata Raja Kera, nadanya melunak dari candaan menjadi kebijaksanaan yang lembut. Ia mulai bernyanyi, suaranya riang sekaligus mendalam, menggema di atas air.
“Pikiran yang begitu tajam, hingga mengiris jiwa,
Hati yang terlalu berhati-hati, tak pernah utuh.
Aturan yang terlalu ketat, hukum yang terlalu dingin,
Membuat kisah yang berani pun menjadi usang.
Maka menarilah di tengah hujan kekacauanmu sendiri,
Biarkan hatimu ringan, biarkan jiwamu mengaku.
Karena alam semesta berkedip dalam gelapnya malam,
Dan beban terberat adalah menganggap segala sesuatu terlalu benar.”
Lagu itu bukan mantra, melainkan obat mujarab. Di setiap bait, Preet merasakan perasaan kaku dan bersih yang ditinggalkan Raja Burung melunak. Ia tidak dibebaskan; ia dipahami. Beban rasa bersalahnya mulai terasa tak lagi seperti rantai, melainkan lebih seperti pelajaran yang bisa ia pikul tanpa putus.
"Kau dan Raja Burung... kalian bertolak belakang," ujar Preet.
"Bertolak belakang? Ha! Kita satu tim!" Raja Monyet menyeringai, melakukan salto ke belakang tanpa alasan yang jelas. "Dia yang *'Tidak!' dan aku yang *'Tapi bagaimana jika...?' Dia yang menetapkan batasan, kutunjukkan kebebasan di dalamnya. Disiplin dan permainan. Ketertiban dan kekacauan. Tak ada yang satu tanpa yang lain!"
Ia menghentikan kejenakaannya dan menatap Preet dengan keseriusan yang tiba-tiba dan mengejutkan. "Otakmu adalah alat yang hebat, cahaya kecil. Tapi jangan biarkan ia menjadi sangkar bagi hatimu. Kebijaksanaan sejati tahu kapan harus serius," ia melirik ke arah Raja Burung, "dan kapan harus menjulurkan lidah ke langit."
Dari kantong kecil di pinggangnya, Raja Monyet mengeluarkan sebutir Persik Pencerahan yang bercahaya. Ia tidak memberikannya kepada Preet, melainkan menggigitnya sendiri, sari buahnya berkilauan bagai cahaya bintang. Sambil mengunyah, ia mengedipkan mata, dan sebuah biji persik yang sempurna, berkilauan dengan energi lembut, muncul di telapak tangannya. Ia melemparkannya kepada Preet.
"Sebiji kecil 'jangan-khawatir' untukmu," katanya. "Siram dengan tawamu. Sekarang, aku punya awan untuk disapu! Toodles!"
Dengan tawa terakhir yang menggema, ia melompat pergi, menghilang secepat ia datang. Peach Pit berdenyut hangat di tangan Preet, bukan dengan kekuatan yang luar biasa, melainkan dengan pengingat keseimbangan yang lembut dan tak tergoyahkan.
Tuan David mengembuskan napas yang tak disadarinya sedang ditahannya. "Yah. Itu... banyak."
Preet memandang dari lubang di tangannya ke teman-temannya, cahaya baru yang lebih tenang di lubuk hatinya. "Aku mengerti sekarang," katanya. "Raja Burung mengajariku beratnya tindakanku. Raja Monyet mengajariku bahwa aku diizinkan untuk tumbuh darinya."
Lorong itu terasa berbeda. Lebih ringan. Kesungguhan yang menyesakkan telah lenyap, digantikan oleh rasa kemungkinan yang tak terbatas dan menyenangkan. Bab selanjutnya dari perjalanan mereka telah menanti.
----